25 September 2010

medis kapitalis

beberapa mata menatap malas ke arah tv yang menayangkan sinetron pada layar tv yang digantung di dinding. tampak dua orang ibu lagi asik berbincang menunggu giliran dipanggil masuk ke ruang dokter. jejalan antrian pasien yang berobat meluber hingga ke ruang luar klinik yang berupa ruko yang juga menyediakan apotek dikawasan peunayong, banda aceh. di tempat yang dinamakan klinik praktek bersama dokter spesialis ini terdapat beberapa dokter yang bekerja dalam ruangan praktek yang telah dipartisi.

asisten dokter lalu memanggil pasien untuk masuk ke ruang periksa, namun bukan satu nama, tapi tujuh nama sekaligus. tujuh pasien plus keluarga yang mendampingi berdesakan di ruang berukuran 5 x 4 meter persegi. ruangan ini terdiri dari 2 tempat tidur untuk pemeriksaan yang dipisah tirai kain putih. disinilah tempat pasien secara bergiliran diperiksa, segala keluhan penyakit pasien secara jelas akan disimak oleh orang orang yang berada di ruangan sempit tersebut.

dokter biasa datang ke praktek pukul enam sore, tiap harinya ia memeriksa 40 hingga 80an pasien. praktek biasa tutup jam 11 atau 12 malam. saya coba berhitung, jam praktek antara jam 6 sore hingga 11 malam adalah 5 jam. 5 jam apabila dikonversi ke menit menjadi 300 menit. lalu 300 menit kita bagi dengan rata rata pasien setiap malam yang kita asumsikan 50 orang, maka hasilnya adalah enam menit. Jadi, enam menit untuk setiap pasien yang diperiksa. Tak ada waktu banyak untuk konsultasi penyakit yang dialami pasien.

untuk mendapatkan pelayanan kesehatan selama enam menit dari dokter ahli tersebut, pasien harus merogoh kocek sekitar 80 sampai 100 ribu rupiah. belum lagi untuk biaya menebus obat yang harganya bisa di atas 300 ribu rupiah. ini masih belum termasuk biaya untuk periksa darah atau terapi lain atas permintaan dokter.

pemandangan lain di klinik bersama dokter spesialis ini adalah sekelompok pria atau wanita berpakaian rapi sambil menenteng tas, persis seperti orang kantoran. mereka juga ikut menunggu giliran untuk dapat bertemu dengan dokter, kadang disela sela pasien yang dipanggil masuk mereka menyelinap untuk mencuri waktu agar bisa bertemu dokter. Sekelompok orang ini di kenal dengan istilah rep. mereka bekerja untuk perusahaan besar farmasi, tugas mereka sebagai sales penjualan obat, tujuannya mereka mempromosikan obat dari perusahaan tempat mereka bekerja, agar dokter mau mengeluarkan resep untuk obat yang dipromosikan.

atas kerjasama yang baik ini dokter mendapatkan imbalan. perusahaan besar farmasi selalu menyediakan fee yang menggiurkan bagi dokter yang banyak mengeluarkan obat dari perusahaan bersangkutan. informasi dari rekan saya yang dokter, fee dari obat yang didapat dokter nilainya bisa diatas 100 juta rupiah per bulan. belum lagi bonus seperti mobil atau keliling ke luar negeri bila dokter makin ‘berprestasi’ dalam urusan dagang obat ini. untuk bonus biasa didapat per enam bulan atau sekali dalam setahun.

ternyata, walau punya duit, pasien belum tentu bisa mendapat pelayanan kesehatan yang memuaskan. 80 hingga 100 ribu uang yang dikeluarkan oleh pasien belum impas dengan pelayanan yang didapat, mulai dari fasilitas ruang periksa hingga informasi yang semestinya didapat pasien. Bayangkan, bagaimana mau mendapatkan informasi yang jelas tentang penyakit yang diderita padahal hanya ditangani selama 6 menit ! . kenyataan dalam gambaran diatas adalah realitas kehidupan pekerja medik di indonesia.

pedoman pelaksanaan kode etik kedokteran mengamanahkan tempat praktek yang aman dan tenang. Kenyamanan dapat membantu pasien sebagai sugesti bagi penyembuhan penyakit. namun alih alih mendapatkan kenyamanan, pasien justru khawatir kalau penyakitnya diketahui orang ketika diperiksa bersamaan. Padahal jelas informasi kesehatan sifatnya sangat confidential dan itu diatur dalam undang undang praktek kedokteran. Mungkin kita maklum kalau pelayanan seperti itu didapat di puskesmas atau rumah sakit pemerintah, maklum, indonesia. namun ini adalah pelayanan non pemerintah dimana pasien harus bayar mahal untuk tujuan mendapatkan kenyamanan ketimbang mereka ke puskesmas atau rumah sakit pemerintah.

yang lebih menyakitkan adalah sebagian dokter ahli disekolahkan dengan duit rakyat, namun ternyata setelah rakyat membayar mahal mereka harus kecewa. juga terjadi penumpukan jumlah dokter spesialis di kota kota utama, sementara di daerah pelosok yang agak jauh dari pusat kota dokter spesialis jadi barang langka.

Seorang dokter dalam setiap praktek medis harus memberikan pelayanan yang kompeten dengan memperhatikan faktor etis dan moral. penyelenggaraan pelayanan medis berbeda dengan pelayanan bisnis jasa pada umumnya. dalam pelayanan medis laba bukan faktor determinan, tapi pelayanan medis diarahkan untuk memberikan pelayanan yang optimal terhadap kebutuhan masyarakat akan sehat. jadi, ada faktor tanggung jawab sosial ketika seorang dokter dilantik menjadi bagian korps medik.

tentu saja segala sesuatu mengenai uang jasa sama sekali tidak mutlak sifatnya. Dokter harus mempertimbangkan kemampuan keuangan pasien yang kurang atau tidak mampu, dibebaskan sebagain atau seluruhnya dari pembayaran. Dalam hal tersebut, ikutilah perasaan kemanusiaan. Janganlah menuntut imbalan jasa yang lebih besar dari pada yang disanggupi pasien karena keuntungan dari penderitaan orang lain.” (penjelasan dan pedoman kode etik kedokteran)

persekongkolan perusahaan besar farmasi (pbf) dan dokter juga perlu dibongkar. Bukankah pemerintah menyediakan merk obat generik yang disubsidi pemerintah dalam rangka menyediakan obat murah. Hubungan antara dokter dan pbf telah secara jelas merugikan pasien. Pasien hanya menjadi korban dari permainan bisnis obat. Demi mengejar target penjualan dan iming iming bonus, hanya kurang dari 6 menit dokter menulis obat dalam secarik kertas resep dengan motivasi rupiah. dokter tidak mengkampanyekan obat generic, jelas karena mereka tak mendapat laba dari obat jenis generic.

persekongkolan inilah yang disebut mafia kesehatan, sama ganasnya dengan mafia peradilan, sama sama mempertaruhkan nasib orang lain. idak hanya persekongkolan dalam hal obat, tapi juga persekongkolan dengan pihak rumah sakit. mereka (dokter) lebih memilih mengunjungi pasien di rumah sakit swasta ketimbang rumah sakit pemerintah, alasannya jelas karena insentif yang disediakan rs swasta lebih menggiurkan.

hingga kini pemerintah belum membuat aturan dokter swasta dan pemerintah. Sehingga sejumlah dokter pns bebas buka praktek swasta, jumlah dokter yang masih kurang jadi alasan pemerintah untuk tidak memisahkan dokter pemerintah dan swasta. padahal di beberapa kota terjadi penumpukan jumlah dokter dengan angka yang signifakan dibanding di desa.

seorang pasien ibu muda menawarkan solusi terbaik, segera pesan tiket dan dapatkan alamat rumah sakit di kuala lumpur, penang atau singapura. karena hanya disana pasien akan dihargai hak asasinya.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

idealisme dokter sudah hilang. semoga seluruh komponen bisa berpikir yang terbaik untuk bangsa ini

irsal ambia mengatakan...

semoga berobat ga bikin bangkrut..