31 Maret 2009

pemilu untuk siapa ?

dalam masyarakat demokrasi kita mengenal istilah partisipasi politik. partisipasi politik dapat dituangkan kedalam berbagai bentuk penyaluran aspirasi, ada yang bersifat positif dan negatif. anarkhisme adalah salah satu bentuk partisipasi politik yang negatif, dan pemilu "konon katanya" dianggap sebagai bentuk partisipasi politik yang sah dan positif.

tentu sebagai salah satu bentuk partisipai politik yang sifatnya positif, pemilu sejatinya juga akan memberikan hasil yang positif bagi masyarakat. pertanyaan nya adalah, apakah lima tahun yang lalu rakyat sudah dapat merasakan hasil yang positif dari pemilu ?
yang pasti pemilu lima tahun lalu telah menghasilkan presiden, anggota dpr, dpd dan rekan rekan. tapi, menyangkut kepuasan rakyat atas hasil positif pemilu tentu jawaban nya beragam. ada yang bilang mantap, sisanya berkomentar "biasa aja", dan sisa yang paling banyak biasanya menggerutu dengan pemimpin pemimpin sekarang ini.

"capee dekh nyoblos buat kasih kaya orang aja", komentar tadi memang tidak sepenuhnya salah, soalnya pemilu saat ini justru jadi ajang peruntungan mendapat pekerjaan baru. seterusnya bisa ditebak, bagaimana rekan rekan kita itu saat berada di gedung terhormat. padahal seharusnya wakil rakyat bukanlah sebuah pekerjaan sebagaimana dokter, pengacara atau pengusaha. wakil rakyat diberikan upah sebagai pendukung kegiatan yang dilakukan, bukan sebagai periuk nasi.

dan anehnya masyarakat kita saat ini pasrah dan bersifat permisif.
"sudahlah itu kan jatah dia sekarang, ntar kita kebagian jatah juga kok", ini kalimat paling simpel yang menandakan bahwa dunia masih berputar, bahwa sekarang biarlah dia berbuat apa yang dia suka saat menjadi wakil rakyat, lima tahun lagi kita akan naik dan itulah saat kita (juga untuk berbuat apa yang kita suka). sifat permisif ini beranjak dari kepasrahan atas keadaan yang dianggap tidak mungkin lagi berubah. kalau pun ada calon legislatif atau calon presiden yang menyuarakan perubahan hanya akan ditanggapi sebagai "peumameh haba" oleh rakyat.

kalau ditelisik lebih dalam sebenarnya budaya kita (indonesia) memang belum mendukung sepenuhnya iklim demokrasi. jabatan sejak jaman dahulu kala adalah sesuatu yang bersifat kehormatan, bukan kepercayaan. sehingga siapa saja yang mendudukinya akan menjadi tokoh sentral yang harus dihormati dan disanjung. yang terjadi adalah rakyat dilevel bawah kehilangan fungsi kontrol atas jabatan yang disandang orang terhormat tadi. akibatnya rakyat tidak bisa berbuat apa apa atas apa yang dilakukan si pejabat karena dianggap sebagai orang yang terhormat. dan jangan menyangkal kalau sampai sekarang praktek ini masih berlangsung, jabatan politis seperti anggota legislatif atau presiden dan gubernur masih menerapkan pola lama dalam menjalankan jabatan. tingkat pendidikan tidak akan berpengaruh banyak dalam merubah pola pikir feodal tadi, banyak lulusan strata tertinggi dan jebolan luar negeri tapi masih juga berpikir bahwa jabatan adalah kehormatan atau prestise bukan kepercayaan. ini soal watak dan turunan "air mani". watak dan air mani kita adalah feodal dan itu berarti kita (siapapun kita) masih berpikiran feodal ala patih gajah mada dkk.

proses yang sering diabaikan orang dalam berdemokrasi adalah mekanisme komplain. kalau memang pejabat kita masih berpikiran ala gajah mada maka kita selaku rakyat harus bisa berpikir sebaliknya, tidak perlu menyanjung atau melakukan penghormatan berlebihan, kita akan menghargai mereka atas dasar profesionalisme, bukan ketokohan. dan kita sebagai pemilih berhak untuk komplain atas tindakan wakil kita yang tidak dapat memperjuangkan aspirasi konstituen. hingga saat ini konstituen tidak mempunyai akses untuk mengetahui isi saku baju wakilnya.

mekanisme komplain dari pemilih ditingkat memang bawah belum pernah diatur dalam sejarah ketatanegaraan indonesia. sehingga ketika seoarang menjadi anggota legislatif maka ia secara otomatis akan mengusung suara partai, pertanggung jawabnya pun pastilah kepada partai. kacaunya lagi partai yang seharusnya menjadi pendidik politik dan agen perubahan justru terlalu terperangkap dalam kepentingan politik dan kekuasaan.

singkat cerita, pemilu lima tahun lalu telah membawa perubahan kepada bangsa ini, perubahan menuju sesuatu yang lebih buruk, bisa jadi. berharap perubahan ke arah yang lebih baik juga bukan sebuah mimpi, dan berjalan ditempat adalah pilihan kita sekarang. mau tidak mau kita memang harus berjalan di tempat, jangan hanya salahkan presiden, anggota dpr, dpd, dan rekan rekan, karena kita semua anda dan kita sebagai rakyat juga telah membuat negeri ini jalan di tempat, karena ternyata kita semua diam diam masih menyimpan pola pikir feodal.

berharap pada pemilu 2009, Zzzzzzzzzz....zzzzzzzzzzzzzzzz